Minggu, 17 Mei 2020

Kholifah Bumi; Resensi Buku

Resensi Buku Khalifah Bumi

Resensi Buku :
Kholifah Bumi, Guru Mursyid sebagai Bapak Ruhaniyah
Pengarang : Muhammad Luthfi Al Ghozali
Penerbit : Abshor, Semarang
Tahun :2007
Halaman : xx + 560. 14 x 20
Berat : 650 gram
Peresensi : Verri Jaya Priyana
Harga : Hanya Rp 120.000 saja.
Order hubungi WA: 08111494599
Pertama kali saya membaca sampul buku “Kholifah Bumi” atau dalam Bahasa Arabnya yang sering ditulis dalam Al Quran “Khalifah Fi Al Ardh” saya menduga isinya akan bercerita tentang hakikat manusia sempurna atau Insan Kamil yang biasa dibahas oleh Syeikhul Akbar Ibnu Arabi, salah seorang Sufi yang memiliki ekspresi spiritualitas dan intelektualitas yang tinggi yang pembahasannya membuat pembacanya mengernyitkan dahi karena term filsafat ataupun ekspresi sufistiknya menggunakan bahasa yang melambung dan komplek. Namun, prasangka saya dibuatnya kecele karena yang dibahas oleh Muhammad Luthfi Ghozali “Kholifah Bumi, Guru Mursyid Sebagai Bapak Ruhaniyah” adalah kholifah dalam arti kata yang sesungguhnya sebagai peran utama dalam pembahasannya dengan bahasa yang sederhana dan membumi sehingga bisa diterapkan oleh para pencari atau pejalan spiritual yang sedang menuju Allah (Salik) sebagai bahan acuan.
Untuk menyamakan persepsi judul buku tersebut saya langsung menghubungi Sang Penulis dan mendapat konfirmasi bahwa yang dimaksud Kholifah Bumi memang Sang Insan Kamil atau manusia sempurna.
Berbicara tentang manusia, manusia harus diperlakukan sebagai standar penilaian bagi umat manusia yang lain. Secara historis, manusia selalu mencari yang namanya manusia sempurna, dan manusia sempurna yang dicari tersebut bisa saja berupa tokoh terkenal dalam sejarah, tokoh legendaris ataupun tokoh spiritual. Kita dapat mengatakan bahwa yang mendasari manusia mencari Manusia Sempurna adalah keinginan manusia itu sendiri terhadap kesempurnaan, keterbatasan pencarian, dan adanya kesamaan dengan Tuhan atau untu menghindarkan diri dari kelemahan dirinya.
Buku ini penting sebagai solusi bila dihubungkan dengan krisis global, yang telah melahirkan krisis-krisis baru yang lebih besar daripada sebelumnya. Sebagaimana kita ketahui krisis sekarang tidak lain adalah perusakan sejumlah kesenian, kebiasaan atau tradisi, nilai transenden dalam masyarakat, spiritualitas, kebahagiaan, keceriaan dan berbagai budaya modern yang ‘disamakan’ dengan budaya Barat dalam pemahaman, pendapat dan gaya hidup. Isi buku ini adalah berlandaskan pengalaman individu Sang Penulis dalam upaya membangkitkan spiritualitas pembacanya dalam menghadapi persoalan yang tidak terselesaikan dalam pencariannya.
Membaca tulisannya Luthfi Ghozali terasa bak menapak tilas perjalanan spiritual berupa mujahaddah, riyadhah dan lainnya yang biasa dilakukan oleh para Sufi.
Di dalam buku setebal lebih dari 550 halaman, itu hanya dibagi dalam dua bab saja, bab pertama amanat dan yang kedua khianat. Di dalam bab awal, yang dibahas selain manusia sebagai kholifah bumi juga dibahas tentang manusia di dalam tiga tahap kehidupan, dari alam ruh, alam dunia sampai alam akhirat. Bab kedua membahas tentang khianat. Yang disebut amanat adalah bila menjalankan perjanjian yang telah disepakati dan khianat bila melanggar isi perjanjian.
Konsekwensinya bagi yang amanat akan diberi imbalan surga dan bagi yang khianat nerakalah balasannya. Rasanya buku ini tepat untuk para Salik mubtadi, karena bila disejajarkan dengan para Sufi klasik seperti Rabi’ah ‘Adawiyah (713-801M) 1) surga neraka bukanlah yang menjadi fokus pembahasan. Cinta membuat dia takwa dan karena cinta pula yang membuat ia tidak mengharapkan ganjaran. Cinta Rabi’ah cinta abadi, cinta yang membuatnya tidak takut apa saja walau kepada neraka sekalipun. Ada sisi menarik dari tulisan buku ini karena dari daftar isinya hampir sama dengan karya William C. Chittick, dalam karyanya “Imaginal Worlds, Ibn al-‘Arabi And The Problem of Religious Diversity” 2), khususnya pada point pengetahuan diri dan fitrah manusia, ajal dan kehidupan akhirat. Yang membedakan keduanya adalah dalam Ibn Arabi dibahas juga tentang Annihilation and Subsistence (Fana dan Baqa), Tuhan dialami sebagai penyingkapan Diri-Nya pada mahluk, guna menghantarkannya menuju keberadaan. Ketika sifat-sifat manusiawi akan sirna dan sifat-sifat ketuhanan kekal. Inilah maqam ‘kekholifahan’, atau bertindak sebagai wakil Tuhan di dalam kosmos. Akan tetapi, dalam kebenaran inilah Tuhan bertindak, karena hamba sepenuhnya termusnakan. Sementara dalam karya Luthfi Ghozali “kholifah Bumi” khalifah adalah tokoh ideal yang patut ditiru perilakunya.
Untuk melengkapi buku ini, sedikit saya tambahkan beberapa penjelasan terminologi tentang asal muasal kata khalifah. Kata khalifah berasal dari kata ahlaf, yang menurut kamus Bahasa Arab-Inggris F. Steingas 3) bermakna successor atau penerus/pengganti/wakil. Dalam terminology tasawuf kata khalifah memiliki makna ganda 4), pertama Khalifah Al Ma’nawiyah dan Khalifah Azh-Zhahiriyah.
Khalifah Al Ma’nawiyah merupakan konsep manusia dalam insan kamil, di mana manusia memiliki jabatan di bumi sebagai manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Allah di muka bumi. Khalifah Al Ma’nawiyah menurut Ibn Arabi adalah khalifah Allah, bukan khalifah Rosulullah, karena ia secara langsung menjadi wakil Tuhan di muka bumi ini, yakni sebagai wadah tajjali-nya yang sempurna.
Khalifah ma’nawiyah ini merupakan kedudukan yang permanen, karena ini merupakan tujuan utama Tuhan dalam mengangkatnya sebagai khalifah. Oleh karena itu setiap masa tidak pernah kehilangan manifestasi (Mazhar) Ilahi.
Sedangkan Khalifah Azh-Zhahiriyah merupakan jabatan dalam pemerintahan yang secara lahir merupakan tugas memimpin atau mengendalikan pemerintahan dalam suatu wilayah negara. Ibn Arabi menyebutnya Khalifah Rosulullah, karena ia bertugas menggantikan Rosul Allah dalam merealisasikan hukum-hukum yang ditinggalkannya. Khalifah Zhahiriyah, fungsinya untuk melestarikan masyarakat dan negara dengan menciptakan keadilan, ketentraman, dan kemakmuran dalam masyarakat. Artinya, khalifah Zahahiriyah juga menunjang Khalifah Ma’nawiyah.

Dalam buku “Kholifah Bumi” yang dibahas adalah Khalifah Ma’nawiyah (disingkat khalifah saja). Menurut Al Quran (QS 2:30) 5) menyatakan perihal Nabi Adam sebagai perwujudan dari fitrah, atau sifat primordial, dan sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Dengan demikian maka sebenarnya pada dasarnya manusia berposisi sebagai khalifah Allah 6).
Selain Nabi Adam, yang dijadikan contoh sebagai Insan Kamil (manusia sempurna ) adalah Nabi Muhammad. Pandangan ini didasarkan pada hadits Qudsi “Lau Laka, Wa Lau Laka, ma Kholaqtu al Alam-Kulaha”, yang artinya “Kalau bukan karena engkau, (ya Muhammad) tidak akan kuciptakan alam semesta”. Kata Nabi dalam hadits tersebut ditafsirkan oleh para Sufi bahwa itu adalah Nabi Muhammad, kemudian ditafsirkan lagi sebagai manusia sempurna (insan Kamil), yaitu bentuk manusia yang telah mencapai kesempurnaannya, yaitu ketika ia telah mengaktualkan potensi kemanusiaannya 7). Pandangan ini dianut oleh beberapa Sufi terkenal seperti Ibn Arabi (w.1240), Shadr Al Din Al Qunyawi (W. 1274), Jalal Al Din Rumi dan Abd Al Karim Al Jilli. Rumi menganalogikan hal ini bahwa manusia itu ibarat buah, walaupun buah timbul setelah batang dan ranting, tetapi tumbuhan tersebut secara keseluruhan memang diciptakan untuk menghasilkan buah tersebut. Sebagaimana dalam buah memiliki kandungan mineral dan mengandung seluruh unsur pohonnya, demikian juga manusia. Selain memiliki unsur mikrokosmos, tetapi juga makrokosmos, karena manusia telah mencapai tujuan penciptaannya. Sebagai hasil evolusi paling akhir, manusia adalah paling sempurna dalam bentuk. Fungsi dan kompleksitasnya. Dalam bahasa Al Quran disebut “Ahsan Al Taqwim”.
Dibandingkan dengan mahluk lainnya, manusia juga memiliki perbedaan yaitu kecakapan berbicara (al nuthqah) atau dengan rasionalitas (‘aql). Serta dikarunia akal dan roh yang membuat manusia berada di atas makhluk biologis yang lain.

Dalam kaitannya dengan Tuhan, manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi (Khalifah Fi Al Ardh). Yang sangat dimuliakannya. Sebagai khalifah, tugas manusia adalah menyampaikan berita dari dunia gaib agar dapat dipahami dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh manusia. Tetapi, karena tidak semua manusia pada prakteknya bisa menerima “pesan Ilahi” ini, maka Tuhan mengutus para Nabi dan Rosulnya untuk membawa kabar tersebut. Setelah nabi tidak diturunkan lagi, karena Nabi yang terakhir adalah Muhammad SAW, maka pesan diteruskan oleh para wali Allah, Shahabat, Al Muqarrabin dan para Sufi, Mursyid dan Kholifahnya, ini mungkin yang dimaksud Luthfi Ghozali di dalam bukunya “Kholifah Bumi, Guru Mursyid sebagai Bapak Rohaniyah”.

Adapun bentuk kongkrit pemuliaan Tuhan terhadap manusia adalah tanggung jawab-Nya untuk menciptakan segala sarana dan prasarana yang Dia ciptakan di Bumi ini, yang pada gilirannya bukan saja memungkinkan manusia hidup, tetapi menjalankan fungsinya sebagai wakil dan khilafah-Nya di muka bumi ini untuk manusia, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab suci-Nya, agar segala rencana Tuhan dalam menciptakan manusia sebagai khalifah-nya bisa terlaksana dengan baik.
Tanpa banyak komentar, saya menilai karya ini sangat patut untuk dibaca, direnungkan dan dihayati oleh setiap manusia modern yang telah merasakan krisis spiritual dalam hidupnya. Karena selain langka, karya ini dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang manusia dan kedudukannya yang mulia di dalam planet bumi ini.
Selamat membaca!
Ciputat, mid May 20
Verri Jaya priyana
*)Pecinta Mistik Islam
Untuk order bisa hubungi sekarang juga di nomor HP/WA : 08111494599
Bibliography :
1) Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996
2) William C. Chitick. Imaginal Worlds, Ibn al ‘Arabi and The Problem of Religion Diversity, State University of New York Press, 1994, P. 59
3) F. Steingass, A Learner’s Arabic English Dictionary, Gaurav Publishing House, Delhi,1986
4) Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Tasawuf, Wonosobo, 2005
5) QS. Al Baqoroh : 30 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman pada para malaikat ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”. Tuhan berfirman “Sesungguhnya Aku mengetahui yang tidak kamu ketahui”.
6) Cyril Glasse. Ensiklopedi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
7) Mulyadhi Kartanegara. “Menyelami Lubuk Tasawuf”, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2000
Suka


Kamis, 07 Mei 2020

Agar Puasa Menghasilkan Cahaya



*AGAR PUASA MENGHASILKAN CAHAYA*

Berkata sebagian arifin,
الصوم بقدر ما يكون تجويعا للبطن فانه يكون غذاء للروح
Besarnya makanan bagi ruh sesuai kadar kosongnya perut seseorang. Semakin lapar perut seseorang ketika berpuasa semakin besar cahaya yang masuk ke dalam ruhnya.

*Al-Imam Al-Habib Abdullah Al-Haddad* berkata:
ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺤﺪﺍﺩ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ: ﻭﻣﻦ ﺁﺩﺍﺏ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻜﺜﺮ ﺍﻟﻨﻮﻡ ﺑﺎﻟﻨﻬﺎﺭ ، ﻭﻻ ﻳﻜﺜﺮ ﺍﻷﻛﻞ ﺑﺎﻟﻠﻴﻞ ، ﻭﻟﻴﻘﺘﺼﺪ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺣﺘﻰ ﻳﺠﺪ ﻣﺲ ﺍﻟﺠﻮﻉ ﻭﺍﻟﻌﻄﺶ ؛ ﻓﺘﺘﻬﺬﺏ ﻧﻔﺴﻪ ﻭﺗﻀﻌﻒ ﺷﻬﻮﺗﻪ ، ﻭﻳﺴﺘﻨﻴﺮ ﻗﻠﺒﻪ ...ﻭﺫﻟﻚ ﺳﺮ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﻣﻘﺼﻮﺩﻩ
 (ﺍﻟﻨﺼﺎﺋﺢ ﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ﺹ 138)

*"Diantara adab-adabnya orang yang berpuasa, hendaknya ia tidak memperbanyak tidur di siang hari dan tidak memperbanyak makan di malam hari. Hendaknya ia bersikap wajar saja akan hal tersebut, sehingga ia tetap merasakan rasa lapar dan dahaga (di siang harinya karena tidak banyak tidur, dan di malam harinya mampu berjaga karena tidak terlalu kenyang). Dengan demikian jiwanya akan bersih, nafsu syahwatnya akan melemah dan hatinya akan bercahaya. Inilah rahasia dan tujuan dari ibadah puasa"*

Berkata *Jalaluddin ar-Rumi,*
*"Jika otak dan perutmu terbakar karena puasa, apinya akan terus mengeluarkan ratapan dari dalam dadamu. Melalui api itu, setiap waktu kau akan membakar seratus hijab. Dan kau akan mendaki seribu derajat di atas jalan di dalam hasratmu"*.

*Imam Ghazali* dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menerangkan tiga tingkatan dalam berpuasa.
*Tingkatan pertama, adalah menahan makan dan minum dan menjaga kemaluan dari godaan syahwat.*

*Tingkatan kedua, selain menahan makan dan minum serta syahwat juga menahan pendengaran, pandangan, ucapan, tangan dan kaki dari segala macam bentuk dosa.*

*Tingkatan ketiga, menjaga pandangan hati agar senantiasa memandang Allah dan tidak terbersit kepada selainNya.*

Bulan puasa adalah bulan riyadhoh. *Kata Abah Guru Sekumpul, "Arti riyadhoh itu tarkul manam (meninggalkan tidur), tarkul anam (meninggalkan manusia, uzlah), tarkul tho'am (meninggalkan makanan, lapar), tarkul kalam (meninggalkan berbicara, banyak diam)."*

Berkata *Syekh Abil Hasan As Syadzili,**"Jika engkau ingin diberikan khusyu' maka janganlah memandang hal-hal yang diharamkan Allah.*
Source fppondokhabib
#notaverrijp
#puasa

Rabu, 06 Mei 2020

Gunung dan Batu



Cerita Gunung dan Batu

Batu besar ditumpuk di awal, lalu batu kecil, di atasnya lagi pasir, kemudian lapisan tanah.. jadilah gunung yang kokoh..

Artinya bila mau menyesaikan masalah, selesaikan dulu masalah yang besar yang berdampak laten kemudian baru masalah kecil.. akhirnya sampai selesai masalah yang lebih renik lagi..

Dengan cara begitu  hiduppun menjadi nyaman sambil memandang gunung yang membiru..
Apakah gunung memang biru hakikatnya tidak.. kalau didekati ya realita isinya batu, koral, pasir dan tanah..

Semua kehidupan di bumi hanya fatamorgana karena hidup hanya ilusi. Hakikinya yang real adalah di alam akhirat.. untuk itu siapkan sejak sekarang..

Salam,

Tangsel Mid Ramadhan 20

#notaverrijpma
#Theraafiat

Rabu, 29 April 2020

Thoriqoh Sebagai Makanan dan Obat; Suatu Resensi Buku



Resensi Buku

Judul Buku : "Thoriqoh sebagai makanan dan obat.
Mengikuti Jalan Guru Mursyid, Menggapai Surga Dunia dan Surga Akherat."
Karya        : Muhammad Luthfi Ghozali
Penerbit   : Abshor, 2017. Semarang
Halaman  : ix + 186. 14x 20
Peresensi : Verri JP
Berat        : 300 gram
Harga       : Rp 75.000,- Belum ongkir

Arti kata Thoriqoh menurut bahasa adalah jalan. Maksudnya jalan tertentu yang membuat orang jalan sampai kepada tujuan tertentu.

Perkataan thoriqoh  dalam terminologi tasawuf  menurut Zamakh sari Dhafier, pengarang Tradisi Pesantren adalah "sebagai jalan menuju surga".

Menurut Muhammad Luthfi Ghozali, tujuan orang berthoriqoh itu ada dua sekaligus yaitu untuk mendapatkan surga dunia dan surga akhirat seperti yang ditulis sebagai judul buku ini.

Surga dunia (jamatul ma'rifat) yaitu orang yang mendapat makrifatullah  yaitu  kenal Allah secara persaksian, kenal Sunatullah, yaitu sistem  yang dibangun Allah dalam kehidupan alam semesta. Orang yang mengenal sunatullah, hatinya tidak cenderung kepada gemerlapnya duniawi, meski kehidupannya mengurusi  usaha dunia maka hatinya terjaga dari tipuan kehidupan duniawi. Jasadnya memang di pasar tapi hatinya istiqomah menghadap yang memciptakan kehidupan di pasar, karena hatinya cemerlang rongga dadanya lapang, disinari nur ketuhanan.

Di dalam buku "Thoriqoh sebagai makanan dan obat" bagi penulis resensi buku ini, menarik untuk dikupas.

Pertama, thoriqoh dalam ajaran tasawuf yang umumnya diketahui adalah suatu amaliah yang diberikan oleh Syeikh Mursyid, untuk mendekatkan diri kepada Allah, melalui dzikir dan cara lain yang ditentukan oleh thoriqoh tersebut.

Harun Nasution, seorang  akademisi dan tokoh Islam, menjelaskan ada hal yang prinsipil antara thoriqoh dan  thoriqoh lainnya. Perbedaan yang utama adalah  pada jenis dzikir dan wirid serta tatacara pelaksanaannya jadi wiridlah yang menentukan setiap thoriqoh.

Apa yang ditulis dalam buku-buku thoriqoh sejenisnya biasanya klasik dan baku, karena perkembangan thoriqoh begitu pesat  sejak didirikannya thoriqoh Qadiriyah, yang didirikan oleh Syekh 'Abdul Qadir al Jilani (w 1165).

Kedua, di dalam buku yang saya resensi ini  dijelaskan secara populair mengikuti zaman "now", tanpa melupakan pokok-pokok bahasan klasik seperti tawasul dan Robithoh, tawajjuh/wuquf qolbi dan proses kelahiran ruhani.

Diantaranya dijelaskan  bahwa manusia adalah makhluk lahir batin, jasmani ruhani, bahkan manusia adalah ruh yang dibungkus fisik, bukan sebaliknya, fisik yang dihidupi ruh. Seperti manusia fisik, untuk pertumbuhan dan kesehatan badannya butuh makan, manusia ruh juga demikian. Kalau manusia fisik butuh makanan yang terdiri dari makanan pokok, seperti lauk pauk, ditambah cemilan supaya cepat gemuk, maka manusia ruh juga demikian.

Makanan manusia ruh itu bukan nasi dan lauk pauk, melainkan pahala ibadah, baik ibadah fardhu maupun ibadah sunnah. Adapaun cemilannya adalah dzikir dan wirid-wirid yang diistiqomahkan. Dengan mendapat asupan yang cukup dan seimbang, makanan lahir dan makanan batin, maka kehidupan manusia menjadi seimbang, homeostatis. Dengan kehidupan yang seimbang, berarti manusia bisa menyelaraskan kehidupannya dengan kehidupan alam semesta yang tercipta seimbang. Itulah kehidupan yang paling ideal, kehidupan orang berilmu, beriman, dan bertakwa, untuk mencapainya, orang harus berthoriqoh.

Terakhir, tradisi masyarakat Islam mengenal adanya majlis dzikir, yakni sekumpulan orang yang secara rutin  menyelenggarakan dzikir bersama, dengan frekwensi tertentu.

Pada masyarakat modern, majlis dzikir seperti thoriqoh ini akan sangat efektif  dalam membuat keseimbangan antara menuruti dinamika kerja yang terus menantang dan dorongan bathin  yang merindukan ketentraman spiritual.

Buku ini akan mengajak Anda menyelami samudra dzikir atau tashawuf (aspek bathin dari agama). Pembaca akan diajarkan selangkah demi selangkah dengan bahasa kekinian demi kesadaran akan tujuan hidup yang hakiki. Hidup Anda akan diarahkan untuk kepentingan utama dari hidup itu sendiri, yakni lebih dekat kepada Tuhan sebagai "Asal Sejati" sekaligus "Tujuan Akhir". Mungkin, itulah alasan kenapa judul lengkapnya dipilih " Thoriqoh Sebagai Makanan dan obat. Mengikuti Jalan Mursyid, menggapai sorga dunia dan sorga akhirat".

Akhirul kalam,  buku ini sangat penting dimiliki oleh setiap muslim yang ingin lebih dalam menghayati nilai-nilai keagamaan yang bukan sekedar ritual jasad dan teori keyakinan yang kering secara spiritual. Untuk para praktisi thoriqoh rasanya buku ini adalah buku wajib yang perlu dijadikan koleksi.

Apabila Anda tertarik untuk mendapatkan buku ini, bisa langsung kontak Verri JP,  WA No. 08111494599 sekarang juga..

Senin, 27 April 2020

Alfurqon, Lailatul Qodar Di Luar Ramadhan- Resensi Buku



Resensi Buku : Al Furqon Lailatul Qodar Di luar Ramadhan
Karya              : Muhammad Luthfi Ghozali
Penerbit         : Abshor, Semarang
Halaman        : xx +448 hlm.  14 x21
Diresensi oleh : Verri J.P
Kondisi buku : Baru dari Penerbit.
Berat buku :  1.1 kg
Harga            : Rp 105.000,- Belum Ongkir

https://verijp.blogspot.com/2020/04/alfurqon-lailatul-qodar-di-luar.html?m=1


Prolog:
Membaca judul buku "Al Furqon Lailatul Qodar Di luar Ramadhan", bagaikan membaca tafsir dua firman Allah,  yaitu  Surat Al Furqon (surat ke-25) dan Surat Al Qadr (Surat ke 97).

Menurut kamus ilmu Al Quran yang  dimaksud Al Furqan adalah pembeda, maksudnya membedakan antara yang hak dan bathil, yang baik dan buruk, yang bermanfaat maupun mudharat sehingga  dengan Al Furqon itu hati seorang hamba menjadi yakin kepada Tuhannya.

Sedangkan Al Qadr (kadar) artinya kemuliaan.
Isi surat ini adalah tentang diturunkannya Al Quran pada malam lailatul kadar, yang nilainya lebih baik dari seribu bulan, para malaikat dan Jibril turun ke dunia pada malam lailatul kadar untuk mengatur segala urusan.

Bicara tentang lailatul kadar mengingatkan  saya pada  pencarian saya tentang   malam Lailatul Kadar di bulan Ramadhan lima belas tahun yang lalu di  Gua Hiro, di suatu gunung yang bernama Jebel Nur  di Mekah, Saudi Arabia.  Di sanalah tempat  Nabi Muhammad SAW  mendapatkan wahyu pertama kali  berupa Surat Al Qadr (Surat ke-97).

Di kota Mekah saya banyak bertanya kepada beberapa ustadz atau para kyai dari Indonesia yang kebetulan sedang umroh tentang  ciri-ciri Lailatul Qadar tersebut.

Dari uraian mereka banyak informasi yang bisa saya dapatkan  diantaranya mereka menyebut ciri lailatul qadar adalah, malamnya hening,  membekunya air, merunduknya pohon dan lain-lain. Setelah mengetahui  ciri-ciri tersebut bukannya saya menjadi tenang, namun  malah sebaliknya  membuat semakin penasaran  dan berakibat pada peribadatan saya terganggu karena menjadi was-was takut kehilangan lailatul qadar tersebut.

Semestinya saya tidak perlu waswas, karena di dalam perjalanan spiritual bukanlah letak keberhasilannnya bukan pada ujian fisik belaka  dan hasilnya bukan berupa ijazah ataupun stempel passport yang nyata melainkan berupa suatu mentalitas pemahaman seorang hamba kepada Tuhan-Nya sehingga menjadikannya sebagai wushul  perantara atau tersingkapnya hiasan Al Haqq kepada seorang hamba dimana dia tenggelam di dalam Nya.

                              -o0o-

Sengaja prolog  diatas saya tulis untuk mengajak para pembaca memahami konsepsi waktu.

Bagaimana kita bisa  memahami waktu yang sudah lampau tapi bila kita menggalinya kembali dengan 'bermemori ria' seolah menjadi dekat bahkan seolah-olah baru saja terjadi?

Bicara tentang waktu, semua memori  tentang perjalanan pencarian lailatul kadar tersebut muncul seolah-olah tidak ada penyekat antara memori kejadian tahun 1994 dengan  tahun 2009.  Diam-diam saya membenarkan  teori  Roger Sperry  "Dual Brain" dan "Hemispheric Specialization" yang menyatakan bahwa salah satu fungsi otak kanan adalah pemikiran holistik dan tidak bergantung waktu.

 Seperti kita ketahui bahwa umumnya yang disebut malam lailatul qadar - disebut Al Quran sebagai "Satu Malam yang lebih baik dari seribu bulan"  mengacu kepada satu malam di bulan Ramadhan. Tetapi bagaimanakah malam itu? Apa terjadi hanya sekali saja pada saat turunnya Al Quran /Nuzulul Quran? setiap bulan Ramadhan sepanjang sejarah? Atau sepanjang tahun baik Ramadhan ataupun tidak?

Malam Al Qadr yang ditemui Nabi pertama kali adalah ketika menyendiri di Gua Hira, Beliau merenung tentang diri  dan masyarakatnya. Ketika jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Jibril  atau Ar-Ruh membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia.

Langkah kita untuk memahami Lailatul Qadar adalah beriman dahulu, berdasarkan pernyataan Al Quran "Ada satu malam yang bernama Lailatul Qadar" (QS. 97:1) dan bahwasannya  malam itu adalah "malam yang pernuh berkah dimana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar Dengan penuh kebijaksanaan" (QS.44:3).

Dilihat dari penjelasan diatas yang bersumber pada Kalamullah  yang intinya menjelaskan bahwa Lailatul Qadar  terjadi pada  bulan Ramadhan.

Bagaimana kalau Al Furqon, lailatul Qadar di luar Ramadhan  apakah bisa terjadi?

Menurut Muhammad Luthfi Ghozali, lailatul Qadar di luar bulan Ramadhan itu bisa saja terjadi alasannya, dengan asumsi bahwa dengan amal ibadah itu manusia bisa meningkatkan kualitas hidupnya, maka  bagi orang-orang yang berharap mendapatkan Lailatul Qadar bisa mencari kapan saja, baik di dalam maupun di luar Ramadhan, yaitu dengan melaksanakan mujahadah dan riyadah di jalan Allah SWT. Asumsi itu berdasarkan bukti bahwa setiap perintah Allah SWT kepada hamba-Nya, pasti ada aspek pembelajarannya (tarbiyah) di dalamnya. Tarbiyah yang sangat berguna bagi pembentukan karakter dan pendewasaan jiwa manusia, yaitu pada aspek filosofinya yang selalu dirahasiakan eksistensinya kecuali bagi seorang hamba yang matahatinya telah cemerlang dengan nur ma'rifat.
Aspek pembelajaran itu bukan untuk memberatkan hidup manusia, namun sesungguhnya hanya untuk menciptakan peluang amal, agar manusia mampu mencukupi kebutuhan hidupnya, baik lahir maupun bathin.

Hakekat Lailatul Qadr dan Al Furqon adalah sama, yaitu sama-sama anugerah Allah SWT yang dikhususkan kepada hamba-hambanya yang beriman.

Perbedaannya, lailatul kadar itu fasilitas (serupa idul fitri) sementara Al Furqan adalah buah yang diberikan Allah SWT sebagai balasan apa-apa yang telah dikerjakan oleh seorang hamba ketika dua fasilitas tersebut dipakai dengan benar.

Jadi, keberadaan lailatul Qadr dan Idul Fitri itu di luar jiwa manusia sedang Al Furqon ada di dalam hatinya. Bisa berupa pengetahuan, iman, yakin, Nur Allah, nur Ma'rifat atau apapun juga, yang hakekatnya sama-sama berbentuk kekuatan yang memancar dari dalam hati, sehingga mampu menjadi obor penyulut semangat pengabdian dan perjuangan di jalan Allah SWT.

Menurut Luthfi Ghozali yang mendapatkan Al Furqon adalah Ulul Albab, sehingga dengannya Ulul Albab selalu mampu membaca tanda-tanda kebesaran Allah SWT yang ditebarkan dalam kehidupan. Luthfi mengutip QS 3:190, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam terdapat tanda-tanda bagi Ulul Albab". Luthfi menegaskan bahwa yang dimaksud Ulul Albab bukan hanya orang yang berakal saja sebagaimana pemahaman umum terhadap ayat tersebut.
"Sebab, kalau hanya orang yang berakal saja, tidak mungkin mereka mampu membaca setiap  sinyal yang disebarkan Allah SWT di alam semesta, terlebih terhadap sinyal yang bersifat bathin. Karena hanya orang yang matahatinya cemerlang saja yang mampu berbuat demikian." Tegas luthfi yang ditulis pada bab terakhir. Selanjutnya Luthfi menjelaskan secara terperinci  bagaimana menjadi Ulul Albab tersebut.

 Ide yang diberikan Luthfi tersebut disetujui Ahsin W. Al Hafidz, di dalam Kamus Al Quran karangannya, menurut Ahsin yang dimaksud Ulul Albab adalah orang yang memiliki akal murni, yang tidak diselubungi oleh kulit, yaitu kabut ide yang melahirkan kerancuan dalam berfikir, dengan perkataan lain, Ulul Albab adalah orang-orang yang berfikir atau cendekia.

Salah satu sifat Ulul Albab yang dipuji oleh Allah adalah "yang mendengar perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya." (QS AzZumar [39]:18)
Sebagai penutup, Luthfi menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Al Furqon atau Lailatul Qadr diluar Ramadhan adalah adalah Nur Allah yang menerangi jati diri manusia agar dengan Nur itu, manusia mampu memantulkan Nur kesempurnaannya dengan sempurna demi kesempurnaan alam semesta, atau yang disebut rahmatan lil aalamiin dan ini artinya menjadi insan kamil.

Sekedar masukan dari peresensi, buku "Al Furqon, lailatul Qadar di Luar Ramadhan" ini berdurasi baca cukup panjang, maklum tebalnya mencapai 448 halaman lebih. Akan lebih baik bila menggunakan alur menurun, yaitu kesimpulan dikedepankan dahulu baru terurai ke sub pokok bahasan. Karena judul buku ini Al Furqon, akan tetapi masuk ke bab Al Furqonnya baru dibahas pada halaman 291 sehingga pembaca sering dibuat penasaran  kenapa untuk mencapai bab yang dijadikan judul buku itu terlalu lama. Walaupun demikian, rasanya ini tidak masalah karena Al Furqon dan Lailatul Kadar itu masing-masing bisa berdiri sendiri. Pun pula, lailatul kadar lebih banyak membahas masalah waktu, bukankah lebih tepat bila waktu itu sebagai predikat menerangkan Al Furqon sebagai subyek?

Buku ini mengajak pembaca menyelami hikmah dibalik segala kehendak Allah Ta'ala dan kemampuan diri dalam membaca tanda-tanda yang ditebarkan baik dalam ayat yang tersurat maupun tersirat serta inayah azaliyah yang menyinari perilaku, yang akan membuka penutup mata hati dan membawa manusia kepada jalan yang lurus serta keridhoan Tuhannya.

Buku ini, dengan gaya bahasanya yang mengalir ringan akan sangat bermanfaat bagi siapa saja yang menyukai bacaan syariah (aspek lahir) dan aspek bathin. Buku ini sangat cocok dibaca saat bulan Ramadhan, karena lailatul qadar bertepatan waktunya dengan bulan Ramadhan, sambil untuk mengisi waktu Anda  yang lapang karena bertepatan diterapkannya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di seluruh negara Indonesia.

Apabila Anda tertarik buku "Al Furqon, Lailatul Qodar di Luar Ramadhan" ini silakan WA untuk order  sekarang juga kepada Verri JP : WA 08111494599.





Kehidupan Saat Musim Covid19, antara Tantangan dan Peluang



Kehidupan Saat Musim covid 19, antara Tantangan dan Peluang.

Ternyata kehidupan saat musim pandemi covid 19 memerlukan strategi untuk mengatasinya. Setelah penulis renungkan  diperlukan beberapa hal agar kita bisa melewatinya.

1. Kesehatan fisik; kesehatan ini mutlak diperlukan bila kita mau berusia panjang. Diantaranya olah raga,  dan berjemur pagi sesuatu yang wajib dilakukan.

2. Kekuatan mental; kekuatan mental diperlukan karena ketegangan jiwa yang dialami sudah tidak sama dengan kehidupan biasanya.

3. Kesehatan spiritual; diperlukan untuk menyetimbangkan olah rahani, yang dilakukan seperti meditasi, dzikir, berdoa dan muhasabah.

4. Pola pikir;
Dengan situasi yang berbeda dengan kehidupan biasanya perlu pola pikir yang tenang dan terkendali, berpikir positip tetap diperlukan dan tetap istiqomah.

Pusing itu bukan karena banyak pikiran, tapi karena salah mikir.
Harusnya fokus mikir jualan sendiri,  malah ini mikirin utang. Namun, bila sudah terlanjur mulailah berpikir agar hutang terlunasi dengan menjual harta simpanan yang dimiliki.

5. Gaya hidup sehat;
Gaya hidup sehat diperlukan terutama agar kebersihan badan selalu terjaga, dan pola makan sehat diikuti, serta dalam segala hal higienis diutamakan.

6. Tata kelola pekerjaan; banyak orang  yang di phk dan banyak juga yang dirumahkan. Pekerja harian bahkan tidak melayani pelanggan demi menjaga keamanan dan kesehatan pribadi.

Untuk itu diperlukan tata cara mengelola karir, bagi yang tidak bisa bekerja sesuai keahliannya, maka dituntut untuk bekerja di rumah, boleh mulai terjun pada bisnis yang baru, boleh juga merubah rumah menjadi ajang berbisnis, agar dapur tetap ngebul.

7. Tour of duty; suasana bisnis yg lengang membuat kita terpacu  untuk berupaya agar dapat peluang  bisnis baru yang menjanjikan. Seperti usaha toko online. Memasak kue kesukaan dan  menjualnya agar ada penghasilan.

8. Agar tetap setimbang emosinya, komunikasi dengan sahabat boleh terus dilanjutkan tapi dengan cara mengikuti aturan sosial distancing.

Sekarang ini saat yg tepat buat bangkit karena  hampir semua lini usaha mulai dari nol lagi.

https://verijp.blogspot.com/2020/04/kehidupan-saat-musim-covid19-antara.html?m=1

Salam,
Verri JP
Rumah Sehat Thera Afiat
Jl. Kalasan No1.
Sarua Permai, Pamulang
Tangsel

Sabtu, 25 April 2020

Menggali Kebahagiaan Dari Sumbernya, Resensi Buku



Resensi Buku
Judul : Menggali Kebahagiaan Dari Sumbernya.
Mengobati stress dan trauma dengan dzikir dan doa.
Karya : Muhammad Luthfi Ghazali
Peresensi : Verri JP
Penerbit : al Abshor, Semarang, 2017
Halaman :  viii + 178: 14 x20
Kategori: Agama & Kepercayaan
Kondisi : Baru
Berat : 0.25 Kilogram
Harga : Rp 60.000,- belum ongkir

https://verijp.blogspot.com/2020/04/menggali-kebahagiaan-dari-sumbernya.html?m=1

Era milenial ditandai dengan dua hal sebagai cirinya. Penggunaan teknologi modern sebagai alat bantu dan berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai wujud intelektual manusia. Dengan kedua hal tersebut  generasi  modern semestinya manusia menjadi lebih arif dan bijak. Namun, dalam kenyataannya  banyak manusia yang kwalitasnya lebih rendah dibanding kemajuan berpikir dan teknologi yang dicapainya. Akibatnya ada ketidak seimbangan yang menimbulkan gangguan kejiwaan.

Ketidak berdayaan manusia bermain dalam pentas peradaban modern membuat manusia terperangkap dalam situasi "manusia terpasung" seperti jaman lockdown sekarang ini  karena wabah Cofid 19.  Dada pun terasa sesak.

Sebagai akibat  dari sikap hipokrit yang berkepanjangan ini manusia menjadi stress dan trauma karena psikosomatik.

Dzikir dan doa sebagai solusi krisis.
Krisis keruhanian sebenarnya berkaitan dengan pandangan hidup seseorang. Pandangan hidup yang salah berakibat logika yang salah dalam merespon realita.

Manusia adalah mahluk yang berpikir dan merasa. Berdoa artinya menghidupkan hubungan rasa antara manusia dengan Tuhan. Kesadaran rasa ini akan menempatkan manusia dalam sistim harmoni sunatullah. Bagi orang yang sudah sampai pada stasiun ridha atau  bermakrifat atau mahabbah tentu tidak terganggu, karena pusat perhatiannya tidak lagi pada yang berubah tapi pada yang Tetap  dan Tidak Berubah, yaitu Allah Swt. Kesadaran rasa berhubungan dengan Allah swt ini akan membuat bashirah terbuka sehingga membuat selalu  ingin dekat dengan Allah Taala.

Kesadaran merasa berhubungan dengan Tuhan itulah yang disebut dzikir.

Dzikir adalah aktivitas mental, bukan aktivitas mulut. Dzikir melalui mulut adalah awal daro dzikir aktivitas mental. Sholat kita dan doa kita, bahkan pekerjaan kita  menurut salah satu riwayat adalah wujud dari  dzikir juga.

Alquran secara jelas memerintahkan kaum beriman agar banyak berdzikir dan bertasbih. QS 3:41. Dengan dzikir yang benar akan memperoleh ketenangan hati Qs 13:28.

Orang berdoa
 *"Robbisy-rohlie shodrie wa yassirlie amrie"*  berarti memohon kepada Allah Swt. diberi kebahagiaan hidup, karena yang dimaksud dada lapang  adalah kebahagiaan, padahal untuk mencapainya tidaklah mudah.

Manusia harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk bahagia. Diantaranya terpenuhinya segala kebutuhan dasar hidupnya, baik yang bersifat jasmani, kejiwaan, sosial dan spritual. Tanpa terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut mustahil hati manusia bisa bahagia kecuali dengan mengupayakan melalui sumbernya.

Kebahagiaan bukan dihasilkan dari olah pikiran melainkan kondisi perasaan.

Hatilah yang bisa merasakan bahagia, ketika pikiran sudah tidak terganggu lagi oleh kesibukan dan kegaduhan hidup.

Jadi capaian yang diharapkan dengan berdo'a *"Robbisy-rohlie shodrie wa yassirlie amrie"* adalah kebahagiaan hidup dengan mencari langsung dari sumbernya ketika syarat-syaratnya sedang tidak terpenuhi bagi seseorang karena hidupnya sedang bermasalah, stress atau trauma sehingga dadanya sempit dan lisannya kelu, tidak sanggup berbicara.

Akhirul kalam pada masyarakat modern dzikir dan doa  sangat efektif dalam membuat keseimbangan antara menuruti dinamika kerja yang terus  menantang dan dorongan batin yang merindukan ketentraman spiritual yang membuat dada terasa lapang.

Di atas adalah sekilas kesimpulan dari apa yang dipaparkan pada buku karya  Muhammad Luthfi Ghazali, selain rahasia berlapang dada yang merupakan indikator  adanya hidayah Allah di dalamnya,  dijelaskan secara gamblang  bagaimana pikiran bisa membentuk perasaan, sedangkan perasaan mempengaruhi pikiran, dengan dada lapang menjadikan orang beriman bisa banyak bertasbih dan berdzikir kepada Allah Taala, hati yang sehat, pikiran jadi sehat. Sebagai penutup dijelaskan adab dalam berdoa agar doa makbul.

Penulis merekomendasikan buku ini agar  bisa dibaca sambil mengamalkan dzikir dan mengisi kegiatan stay @t home selama diterapkan  PSBB - Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Untuk order buku "Menggali Kebahagiaan dari Sumbernya, Mengobati Stress dan Trauma dengan Dzikir dan Doa" bisa hubungi sekarang juga :  Verri JP telp/WA no. 08111494599.